Tuesday, June 11, 2013

Wanderlust

Tanggal 10 Juni kemarin, saya genap berusia 22 tahun. Tidak ada yang spesial, sebenarnya, dari umur ke-22 saya ini. Di saat John Forbes Nash sudah menyelesaikan tesis tentang game theory (yang lantas memberinya hadiah Nobel ekonomi) pada usia ini, saya masih tetap bukan siapa-siapa.

Beruntung bagi saya, perjalanan menuju tahun ke-22 saya dipenuhi oleh kebaikan-kebaikan — betapapun kecilnya, baik oleh orang-orang yang mengenal dan menyayangi saya, maupun dari orang-orang yang tidak mengenal saya. Pagi hari tanggal 9, mama saya sudah mengucapkan selamat ulang tahun. Sepertinya, mama saya merasa insekyur kalau-kalau ada yang mendahului dia mengucapkan selamat pada anaknya ini. Saya menelponnya. Ada rindu ingin pulang yang membuncah di dada. Ah, mama, saya teramat merindukanmu. Saya ingin pulang.

Lalu, saya menghabiskan sisa hari itu untuk mengasingkan diri di Blok M. Sendiri. Berniat untuk berbagi sesuatu pada orang-orang, atau sekedar menyediakan mulut dan telinga mendengarkan keluh-kesah mereka yang dihimpit kerasnya ibu kota. Oh, dan juga untuk membeli beberapa buku sebagai hadiah untuk diri saya sendiri.

Dan perjalanan ini sendiri, ternyata memberi saya hadiah yang tak pernah terpikirkan. Berjalan keluar kompleks tempat kos-kosan saya, saya sudah disambut dengan sapaan dari ibu penjual sayur, ibu penjual ketoprak, bapak penjual soto, bapak penjual bubur ayam di depan masjid At-Taqwa, juga Pak Anto, tukang ojek yang pernah saya pinjam sepatu pantofelnya. Bahkan saya diberi wejangan klise oleh bapak penjual soto dan seorang ibu menjelang paruh baya yang juga memesan soto di situ agar tidak menjadi Gayus. Apakah saya mengenal mereka secara pribadi? Tidak. Saya hanya pernah dalam suatu waktu bercakap-cakap dengan masing-masing dari mereka. Hadiah pertama pagi itu adalah pelajaran tentang ketulusan dan persahabatan yang dapat dimulai dari hal yang begitu sederhana. Dari mereka saya belajar untuk menjadi rendah hati, dan sungguh, saya lebih suka berteman dengan mereka dibandingkan dengan orang yang berstatus sosial lebih tinggi, namun pongah dan egois dalam berteman.

Lalu, datanglah seorang ayah yang menggandeng anaknya yang Down syndrome jalan-jalan mengitari kompleks. "Wah, sudah muter ke sini, ke sana, lima kali, Mas", ujarnya dalam lelah yang kalah oleh perasaan bahagia. Sang anak memang tampak bersemangat sekali menarik tangan ayahnya untuk berjalan-jalan lagi. Saya terharu. Saya teringat ayah saya. Saya membayangkan ia adalah ayah saya, dan saya — dalam kenakalan masa remaja saya — adalah anak itu. Mungkin kira-kira seperti itu, bahwa cinta akan selalu mengalahkan perasaan lelah dan gemas saat mengurus anak. Bahwa cinta seorang ayah akan selalu menutupi kesalahan dan ketidaksempurnaan sang anak. Dalam hati, saya ingin seperti dia. Seperti ayah saya.

Setibanya di Blok M, saya sudah langsung mendapat pelajaran-pelajaran baru. Saya belajar bahwa cinta tak perlu hancur dimakan usia pada sepasang kakek-nenek yang berjalan bergandengan tangan meniti trotoar sambil bercanda. Saya belajar bahwa pekerjaan tak perlu menghalangi kesenangan. Sungguh, anak-anak yang tiap hari bekerja dari satu bis ke bis yang lain ini adalah teman makan dan minum kopi yang menyenangkan. Pada seorang penjaga kios buku bekas, saya belajar bahwa betapa remehnya nampaknya pekerjaan yang dilakukan, Anda harus melakukannya dengan sepenuh hati. Nampaknya klise, namun, meskipun — maaf — menjaga kios buku bekas merupakan pekerjaan yang remeh, ia melakukannya dengan sangat-sangat baik. Dia hapal letak buku yang tersembunyi. Dia tahu kapan-kapan saja buku ini dipesan, dan kapan seseorang membelinya (waktu itu saya bertanya tentang apakah dia punya buku yang saya cari, yang ternyata sudah dibeli orang). Kami pun mengobrol banyak juga tentang manga. Menyenangkan sekali.

Saya menyempatkan diri juga untuk duduk di sebuah kafe kecil yang dimiliki seorang ibu, kira-kira berumur tiga puluhan akhir atau empat puluhan awal. Saya menahan diri untuk memanggilnya tante, entah kenapa. Ibu ini sangat ramah. Begitu ramah, sehingga setiap orang yang lewat di situ disapanya atau menyapanya. Dia bertanya tentang saya, tentang pekerjaan saya, bahkan tentang apakah saya punya pacar. Dia tidak percaya kalau saya tidak punya pacar. "Ah, pasti punya banyak, jadinya bingung" ujarnya. Menohok sekali. Saya hanya bisa terkekeh. Dia lalu bercerita tentang anak lelakinya yang bersekolah di Surabaya. "Dia manja, Mas sebenernya. Begini. Begitu." Ada perasaan gundah ketika dia bercerita bahwa anaknya sebenarnya tidak betah di Surabaya dan ingin balik ke Jakarta. Saya merenung, apakah seperti ini yang dirasakan mama saya ketika saya harus berpisah dan hijrah ke Jakarta?

Dia lalu melanjutkan ceritanya, tentang reuniannya dengan teman-teman se-geng-nya waktu SMA, tentang harga flashdisk di sini yang tidak semurah di Surabaya, tentang Malang yang sudah tidak sedingin dulu. Sambil memutar lagu-lagu evergreen milik Brian McKnight, Eric Carmen, dan Rick Price. Dalam hati saya membatin, boleh juga selera musiknya.

Pukul 12 malam, saat tanggal sudah berganti ke tanggal 10, jika tahun lalu teman-teman terbaik saya di Karanganyar, Ndaru, Pipit, Derry, Hangga, Ucup, dan Ocho yang memberikan kejutan berupa kue ulang tahun, tahun ini teman-teman terbaik saya di sini, Tifa, Nanang, dan Tasa yang memberikan kejutan. Sama seperti tahun lalu, saya menatap tempias cahaya lilin yang dimainkan angin sambil menahan haru. Beruntung, kekonyolan trio Kwek-kwek ini yang tidak tahu alamat kosan saya, membuat saya terpingkal-pingkal. Saya masih tertawa jika mengingat kalimat di telepon "Ndre, kosanmu di mana? Kita mau ngasih surprise!" Guys, thank you so much for this.

Saya berterima kasih juga kepada teman-teman yang lain. Kepada semua telepon, SMS, mention di Twitter, dan ucapan di Facebook yang masuk. Kepada Gita yang katanya mau menulis, namun lebih memilih untuk fokus menulis tentang gebetannya yang berselisih dua hari tanggal lahirnya dengan saya. Juga kepada Gilang, yang entah kenapa memberi saya kado terabsurd yang pernah saya dapat, lotion antinyamuk. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Terlebih lagi, kepada kamu, The Little Red-Haired Girl yang rambutnya hitam dan berombak di ujung karena usaha mengkritingkan rambut yang gagal, terima kasih. Yours are the simplest, but yours are the best. Setelah ucapan dari mama, tentu saja. Meskipun aku pernah bilang, bahwa "wishes are only for children", kamu tahu, apa yang terucap sebagai doa, saat aku meniup lilinku yang kedua puluh dua.

Wednesday, June 5, 2013

Mumbling #4

Here we are, at this sequestered seashore. At the millenia-old intersection of the land and the sea. The place where the incessant waves touch our wounds and drag them away, like how they treat the sandcastle we've built earlier. But this soundless twilight in this place that refuse to talk, soon, very soon, immerses me in yet another beautiful pain - immerses me in you.

"Let's wander somewhere. Let the stars decide where we should go." And we saunter, drifting away separately but connected in meaningful yet incomprehensible way, to the hill north of the seashore where we stood before.

There are sands on the beach and trees on the hill as far as I lay my eyes, embraced by the clement wind of an afternoon that is almost gone. Here I feel like a minuscule nobody, lost in paradise. Such a perfection, as if a pair of divine hands is secretly working behind these scenic masterpieces; the hill, the beach, the sea... and you.

We walk, strolling up and higher this hill, crushing fallen leaves of the late dry season with our feet. A salty coastal wind blows your hair madly, but you seem to be not bothered. "I feel this wind deliver comforting hug, instead of a bone-shattering chill", you said with that soft lips of yours. Meanwhile, up in the sunless sky, the stars start flickering from their semi-slumber. The moon is already reigning majestically. Such a serene and tranquilizing view to the heart.

"I'm always gonna miss the stillness of this place", said you, in a gentle, solemn voice. You brush your hairs aside, looking down the ground. I see you are visibly anxious. "You can come here again anytime you want. I will be here". I try to regain my composure, subduing the flutter and anguish in my heart. Actually, who can stand the thought of parting and departing?

I muster all my courage to hold your hand with my sweaty palms. You chuckle, perhaps thinking of how silly I am like a junior high school kid being first time in love. "Why?" you ask. "Why do you love me?"

"I love you, as certain dark things are to be loved, in secret*. I do not love you out of boredom, or loneliness, or a worldly lust, or ephemeral enchantment. I love you, because the desire to love you surpasses any happiness."

You smile, and I think you could never be more beautiful than you are tonight. Your smile relinquishes me of my strength. In my trying to look sapient before your eyes, I befallen, succumbing to weakness in my heart.

Not a word you say afterward. This beach is still sombre. The hill is still resolute. An ethereal nuance engulfs us in the most comfortable silence ever. Little by little, the beach, the sea, and the hill are chiselling memories to our heart. Memories that are carved forever, and soon taken away to our respective exiles.

This is a place that throbs with so much beauty and solace. Where pain and love stand in close proximities. Where hope and desperation drown us in a new grief. Continuing. Insisting. We try our best to be stoic, but we begin to weep silently, as we know that no matter how unbearable this pain is, we will always try to fix each other.

"I know nothing about my heart. About the future." You sigh.

"I know. My brain defies sense-making, too. What a feeble kind of human we are. "

I try assiduously to cover my sorrow with equanimity. The ocean is gleaming from the silvery moon reflection. Oh how I wish to be a fish, swimming free to an endless sea. Over the edge of the world. Over again.

Then, from the west of the hill, there comes a great flock of a hundred million firefiles. Without realizing, we're holding hands even tighter. And your lips and mine are dancing in unity.

* Pablo Neruda, Sonnet XVII